Bekas Rumah Sakit (Episode 3): Penghuni Gedung

Posted by

Kila menarik lengan Udin dengan paksa. Sementara itu yang ditarik malah terus nyerocos di depan kamera. Sebelum naik ke lantai dua, Udin kembali melihat jejak kaki yang mengarah ke koridor kamar mayat.

Sebenarnya ia ingin sekali mengikuti jejak kaki itu. Tapi, Kila memaksanya untuk ikut ke lantai dua. Katanya, tadi siang Kila sama teman-temannya main di lantai dua.

“Wah gila, guys! Penelusuran aku malam ini seru banget,” kata Udin di depan kamera.

Sesampainya di lantai dua, ruangan malah semakin gelap. Tidak ada lagi cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui jendela. Hanya cahaya dari kamera Udin yang menjadi penerang di sana.

Udin menyorotkan cahaya kamera ke lorong koridor di hadapannya yang kotor. Lorong itu penuh sarang laba-laba di setiap sudutnya. Ada juga sebuah kursi roda di sana. Bukannya takut, Udin malah semakin bersemangat.

“Tadi siang main di sebelah mana, Kila.”

“Di sana,” ia menunjuk ke arah koridor.

“Di dalam ruangan itu?” tunjuk Udin.

“Iya ruangan yang terakhir.”

“Sebentar, ya. Aku heran kok kamu main di sini sih? Terus teman-teman kamu di mana.”

“Iya, jadi tadi siang aku main petak umpet. Pas kalungku hilang, mereka malah ninggalin aku.”

“Hm… udah gede kok main petak umpet. Ya sudah, ayok cari kalung kamu. Lain kali jangan main di tempat ini lagi ya. Berbahaya soalnya.”

Kila mengangguk.

Sebelum mereka sampai di ruangan terakhir, tiba-tiba smartphone Udin berbunyi. Ia merogohnya dari dalam kantung celana.

“Hai, De! Kok belum tidur?” sapa Udin sambil tersenyum. Tumben sekali malam-malam begini pacarnya ngajak video call.

“Sayang, aku tadi mimpi terus bangun. Serem banget mimpinya.”

“Oh… mimpi. Makanya lain kali baca doa sebelum tidur.”

“Duh, kok sinyalnya tersendat-sendat sih,” pacar Udin terlihat kesal.

“Ini kamu lagi di mana?” tambahnya.

“Aku lagi bikin konten YouTube, Sayang.”

“Oh, iya bagus. Biar dapet adsense buat aku jajan.”

“Sayang, aku ketemu cewek di gedung ini. Namanya Kila. Say hi, Kila!” Udin mengarahkan kameranya ke wajah Kila.

Perempuan itu tersenyum. Kila lalu melambaikan tangan ke arah kamera.

“Cewek mana? Orang nggak ada siapa-siapa. Jangan ngaco, ih. Udah, aku mau tidur lagi. Bye, Sayang.”

Pacar Udin menutup telepon. Udin kemudian memasukkan kembali smartphone-nya ke dalam kantung celana.

Udin tahu, pasti pacarnya itu sedang menakut-nakutinya. Bukannya takut, Udin malah semakin tertantang untuk melakukan penelusuran ini.

“Ayok!” ajak Kila.

“Siap,” timpal Udin.

Kila membuka pintu ruangan. Ketika mereka masuk ke dalam, Udin langsung terkagum-kagum. Itu ruang operasi. Ada sebuah mesin anestesi di sudut ruangan. Walau mesin itu penuh debu, tapi tampaknya masih berfungsi. Tidak jauh dari mesin tersebut, ada tempat tidur operasi yang masih lengkap dengan lampunya.

“Woho…! lihat, guys, ruang operasi. Gila… keren banget!”

Udin melangkah perlahan. Kameranya merekam alat-alat operasi, seperti gunting kecil, defibrillator, pinset, dan pisau operasi. Semua masih tertata rapi, hanya saja sudah berdebu.

“Tadi kamu sembunyi di sebelah mana?” tanya Udin.

“Di sana?” tunjuk Kila ke arah kolong tempat tidur.

Udin jongkok. Pelan-pelan ia menyorotkan cahaya ke kolong tempat tidur. Di sana ia melihat sebuah tali berwarna putih.

“Nggak ada kalung. Adanya tali, nih.”

“Wah, iya itu kalung aku,” Kila terlihat gembira saat Udin menunjukkan sebuah tali berwarna putih.

“Yaelah, bilang aja ikat rambut yang hilang,” Udin berdecak kesal sambil menyerahkan tali tersebut.

“Minta tolong pakaikan ke leherku dong,” pinta Kila.

Udin mengembuskan napas berat. Kila benar-benar merepotkannya. Dengan terpaksa, ia menuruti kemauan Kila. Kamera ia letakkan terlebih dahulu di atas tampat tidur operasi. Tapi, mata lensanya tetap menyorot ke arah mereka berdua.

Sesaat setelah tali itu diikatkan ke leher Kila. Seketika Kila tersenyum. Namun, senyum itu seketika berubah mengerikan. Perempuan itu berubah menjadi pocong. Wajahnya hancur, dan tubuhnya sangat bau, seperti bangkai.

Pocong itu tak menapak di lantai. Perlahan ia melayang lalu tubuhnya hilang menembus langit-langit ruangan.

Udin berteriak ketakutan. Ia segera meraih kamera lalu keluar dari ruang operasi itu. Namun, di luar ruangan, tepatnya di lorong koridor, gerombolan manusia berpakaian medis berdiri menghalangi jalan. Wajah mereka samar tertimpa gelap.

“Si… siapa kalian?” tanya Udin. Ia gemetaran, keringat dingin mengucur. Ia sangat ketakutan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *